Aku Anak Siapa?



Aku Bun.
            Barangkali memang itu namaku, tak tahu apa kepanjangannya. Ibuk biasa memanggilku begitu. Orang bilang karena aku gendut, jadi dipanggillah begitu.
            Ibuk. Dialah permataku. Satu-satunya temanku. Pendongeng terbaik sepanjang hidupku.
            Bukan—kerja ibuk bukan pendongeng. Sehari-harinya ia bekerja. Tak tahu kerja apa. Orang-orang bilang ibuk ‘hancur’. Nama profesinya pun mirip-mirip kata ‘hancur’. Tapi tak apa. Bagiku, ibuk lah satu-satunya pahlawanku.
            Suatu kali, ia bercerita tentang ayah-kakekku. Katanya, beliau itu tentara Belanda. Badannya tegap, gagah. Garis wajahnya tegas, bak dipahat pematung kenamaan. Hidungnya mancung. Tatapan matanya tajam, warna sejernih lautan.
            Ah, pasti tampan sekali. Berbeda dengan lelaki pribumi, katanya. Pakaiannya pun rapih dan seragam. Tak lusuh, apalagi rombeng.
            “Beliau pastilah orang hebat.” Pikirku. Meski akupun tak pernah melihatnya. Bahkan tak tahu Belanda itu apa.
            Kemudian ibuk lanjutlah bercerita. Ibu-kakekku pun jatuh cinta pria itu.
            “Cinta nya salah. Jatuh kepada yang tidak seharusnya.” Kata Ibuk. Aku tidak mengerti barang sedikitpun. Tapi, dengan mendengarkan, barangkali ibuk akan lebih senang.
            “Kemudian lahirlah kakekmu. Dan pergilah ayahnya.” Lanjut Ibuk. Aku masih mendengarkan sambil sibuk mengunyah kerupuk.
            Terpikirlah sesuatu di dalam benakku.
            “Buk.”
            “Hm?” kata Ibuk sambil mengelus kepalaku lembut.
            “Ayahku dimana, Buk?” tanyaku.
            Ibuk terdiam.
            “Pergi juga, Buk?” aku lanjut bertanya.
            Ibuk masih diam juga.
            Kalau dipikir-pikir, pertanyaanku kurang tepat. Ada satu pertanyaan yang lebih hebat.
            “Ayahku siapa, Buk?”

Ditulis 10 Maret 2018

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[Rindu;Sendu]

Permulaan

Resensi Buku: Kambing dan Hujan, Mahfud Ikhwan